Minggu, 18 November 2007

Langkah Awal Menuju Pembubaran OPEC ?

SETELAH perang Irak berakhir, struktur pasar dan industri minyak dunia akan mengalami perubahan besar. Namun, masih butuh proses panjang yang akan ditentukan oleh sejauh mana Amerika Serikat mampu mengonsolidasikan kekuasaannya atas Irak. Sebagai negara pemenang perang, kini AS kembali mempunyai peluang yang pernah hilang selama 40 tahun sejak kelahiran Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) untuk mengatur tingkat harga, struktur pasar, dan industri minyak dunia.
DENGAN dikuasainya Irak oleh AS, kini AS dapat mengimplementasikan agendanya untuk menggiring pasar minyak dunia tidak lagi dikendalikan oleh OPEC. Irak dengan cadangan terbukti sekitar 112 miliar barrel, dalam waktu sekitar sepuluh tahun ke depan akan mampu berproduksi menyamai Rusia atau Arab Saudi menjadi sekitar 10 juta barrel per hari.
Jumlah ini sangat potensial untuk memperlemah dan bahkan membubarkan OPEC dengan terlebih dahulu Irak keluar dari OPEC. Untuk mencapai tujuan ini, pemerintahan baru Irak pascaperang akan segera melakukan liberalisasi industri minyak Irak yang diikuti oleh privatisasi INOC (Iraq National Oil Company-BUMN minyak Irak yang selama ini mengontrol cadangan dan tingkat produksi minyak Irak).
Pada titik ini, terlihat jelas ada kesamaan dan benang merah antara apa yang akan terjadi di Irak pada masa mendatang dengan apa yang sedang terjadi di Indonesia saat ini. Keduanya merupakan proses yang kalau terus berlanjut akan berujung pada melemahnya dan selanjutnya bubarnya OPEC sebagai organisasi yang membela kepentingan negara produsen minyak dunia.
Bedanya, Irak akan meliberalisasi dan memprivatisasi industri minyaknya setelah kalah perang dari AS, sedangkan Indonesia melakukan liberalisasi dan privatisasi industri minyak nasionalnya bukan merupakan hasil dari suatu peperangan atau operasi militer, namun lebih merupakan hasil "kesadaran" sendiri.
Liberalisasi industri perminyakan di Indonesia dilakukan lewat penciptaan perangkat perundang-undangan. Langkah-langkah yang telah diambil selama ini mengarah kepada liberalisasi industri perminyakan, sekaligus privatisasi BUMN minyak nasional (Pertamina).
Program ini dilakukan secara sistematis dengan entry-point melalui pencabutan Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 1971 dan pemberlakuan UU Migas Nomor 22 Tahun 2001. Langkah yang diambil oleh pemerintah ini merupakan implementasi dari letter of intent (LoI) dengan Dana Moneter Internasional (IMF).
UU Migas Nomor 22 Tahun 2001 merupakan tonggak bagi liberalisasi dan privatisasi perminyakan di Indonesia dengan menghapus penguasaan dan kontrol Pertamina atas cadangan dan produksi minyak mentah Indonesia dan membuka jalan bagi liberalisasi pasar bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri.
Untuk menghilangkan kontrol Pertamina atas cadangan dan tingkat produksi minyak mentah, maka Kuasa Pertambangan (KP) yang selama ini dipegang Pertamina berdasarkan UU Nomor 44 Tahun 1960 dan UU Nomor 8 Tahun 1971 harus dicabut.
Lebih mengkhawatirkan lagi, setelah KP diambil oleh pemerintah, bukannya diserahkan kepada Badan Pelaksana (BP) Migas sebagai pihak yang mengontrol perusahaan minyak asing (KPS), namun oleh UU Nomor 22 Tahun 2001 lewat Pasal 1 butir 5 dan Pasal 12 Ayat (3) justru diserahkan kepada KPS atau investor hulu.
Langkah yang hampir mirip juga sedang dan akan dilakukan di negara anggota OPEC lainnya, seperti Venezuela, Nigeria, Aljazair, dan tentunya Irak. Tak ayal lagi, langkah ini merupakan cara yang sangat sistematis, yang dapat melumpuhkan OPEC dari dalam.
Sebab, manakala kontrol produksi anggota OPEC sudah tidak lagi berada di bawah BUMN-nya, terlebih kalau BUMN-nya sudah terjual, maka posisi OPEC dalam mengatur suplai dan harga minyak dunia menjadi sangat lemah.
Soalnya, pembatasan produksi perusahaan minyak oleh institusi pemerintah (bukan oleh BUMN) dapat berakibat diseretnya institusi pemerintah tersebut ke Arbitrase International oleh perusahaan minyak atau KPS yang merasa dirugikan karena dipaksa untuk mengurangi produksi.
Hal ini dialami oleh Venezuela karena Presiden Chavez mengurangi produksi perusahaan minyak atau KPS guna memenuhi pembatasan produksi OPEC.
DI Indonesia, liberalisasi industri minyak juga mencakup perubahan struktur pasar BBM dalam negeri dengan menghilangkan hambatan masuk (barrier to entry) bagi pemain baru. Hambatan bagi masuknya perusahaan minyak asing di pasar BBM dalam negeri lebih disebabkan oleh harga jual BBM yang rendah, di samping rendahnya rata-rata biaya pokok produksi dan distribusi BBM Pertamina sebagai calon pesaing.
Ibarat Irak yang harus dilumpuhkan dulu persenjataannya sebelum diserang oleh AS, maka Pertamina yang mempunyai biaya BBM yang rendah harus diperlemah dulu sebelum masuknya pesaing atau pemain baru.
Hal itu dengan mengubah Pertamina dari sebuah perusahaan minyak terintegrasi (integrated oil company) berskala besar menjadi perusahaan minyak yang terpecah (unbundling) dengan skala usaha yang diperkecil.
Selain itu, UU Nomor 22 Tahun 2001 juga memberikan subsidi kepada pemain baru berupa izin untuk memakai aset dan fasilitas distribusi BBM Pertamina lewat Badan Pengatur, tanpa perlu harus membangun sendiri.
Sebab, kalau pemain baru ini harus membangun sendiri, tentu pada tahap awal mereka tidak akan mampu bersaing dengan Pertamina. Sedangkan proses pembentukan harga eceran BBM dalam negeri diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme persaingan pasar (Pasal 28 Ayat 2).
Untuk memungkinkan BUMN Pertamina dijual, UU Nomor 22 Tahun 2001 mengamanatkan untuk mengubah status Pertamina dari BUMN berdasarkan UU menjadi PT Persero berdasarkan peraturan pemerintah (PP) yang belakangan ini banyak diributkan.
Bagi perusahaan minyak dunia, liberalisasi sektor hilir industri minyak di Indonesia lebih penting ketimbang sektor hulu yang selama ini sudah dikuasai oleh KPS, mengingat pasar BBM dalam negeri sangatlah besar dengan penduduk sekitar 220 juta orang. Ini merupakan pasar yang sangat menggiurkan di dalam jangka panjang, terlebih kalau daya beli masyarakat sudah meningkat dan harga eceran BBM sudah mencapai tingkat harga pasar.
Sedangkan liberalisasi industri minyak Irak pascaperang kemungkinan akan lebih terkonsentrasi di sektor hulu. Sebab, sektor hilir industri minyak Irak tidaklah begitu besar mengingat penduduk Irak yang hanya sekitar 20 juta orang.
Selain itu, meliberalisasi sektor hilir akan berdampak pada harga jual BBM dalam negeri Irak harus dinaikkan sampai ke tingkat harga pasar.
Ini merupakan langkah yang sulit, mengingat selama ini harga eceran BBM dalam negeri di Irak sangatlah rendah, sekitar Rp 300 per liter (bandingkan dengan rata-rata harga pasar BBM di dunia yang sekitar Rp 3.000 per liter).
Menurut Center for Global Energy Studies (CGES), liberalisasi dan privatisasi industri minyak Irak merupakan langkah yang harus ditempuh AS, mengingat Irak membutuhkan arus modal dari AS untuk membangun kembali industri perminyakan dan perekonomian Irak.
Setelah perusahaan jasa perminyakan (oil services company) dari AS, seperti Halliburton dan Bechtel, mendapatkan kontrak tanpa tender di Irak, perusahaan-perusahaan minyak raksasa dari AS pasti akan segera mengikuti memasuki Irak.
Selama periode embargo Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), perusahaan minyak AS terhalang masuk karena dilarang oleh UU AS sendiri.
Sementara Saddam Hussein (mantan Presiden Irak) selama ini menggunakan sektor hulu industri minyaknya guna keluar dari embargo PBB dengan memberikan peluang bagi masuknya perusahaan minyak dari Perancis, Rusia, dan Cina.
Sebenarnya, Saddam Hussein sudah berhasil memperoleh dukungan dari anggota Dewan Keamanan PBB, namun sebagaimana diketahui, tetap saja AS menginvasi Irak sampai Saddam terguling.
Liberalisasi industri minyak Irak adalah merupakan strategi yang tepat bagi AS untuk dapat mengontrol cadangan dan produksi minyak Irak. Dengan jargon liberalisasi, terlebih kalau IMF ikut dilibatkan dalam proses pembangunan kembali Irak, AS diperkirakan akan memperoleh dukungan dari banyak pihak di Irak.
Dengan memprivatisasi BUMN minyak Irak (INOC), perusahaan minyak AS dengan mudah dapat mencaplok INOC sehingga kontrol atas cadangan dan produksi minyak Irak akan berpindah ke tangan perusahaan minyak AS.
Dalam jangka panjang, AS akan dapat menggenjot produksi minyak Irak sebanyak-banyaknya sehingga dapat merusak keseimbangan pasar minyak dunia yang dalam 30 tahun terakhir ini dikendalikan oleh OPEC. Untuk ini, Irak harus keluar dari OPEC agar tidak terikat oleh kuota.
Bukankah sejak OPEC lahir AS sangat tidak setuju dengan keberadaan organisasi ini? Terutama sejak tahun 1973, di mana karena ulah OPEC masyarakat dan ekonomi AS sangat terpukul karena harga minyak dunia melambung dari 2 dollar AS per barrel menjadi 12 dollar per barrel, kemudian pada tahun 1979 OPEC menaikkannya menjadi 35 dollar per barrel?
Kinilah momen yang sangat tepat bagi AS untuk melemahkan OPEC dari dalam, dengan memainkan kartu Irak. Keberhasilan upaya AS ini akan banyak bergantung pada sikap Arab Saudi sebagai negara penghasil minyak terbesar di OPEC.
Kalau Arab Saudi yang banyak dituding AS sebagai negara yang berada di balik Peristiwa 11 September dapat membaca arah kebijakan AS di Irak, maka kemungkinan Arab Saudi akan menentang upaya AS untuk memperlemah atau membubarkan OPEC.
Soalnya, kalau AS berhasil membentuk pemerintahan yang demokratis di Irak sehingga menjadi model bagi negara-negara Arab sekitarnya yang masih berbentuk monarki, maka dengan teori "domino demokratisasi" kelangsungan pemerintahan monarki di Arab Saudi, Kuwait, dan negara-negara Teluk lainnya akan terancam.
Ancaman ini dapat menjadi senjata bagi AS untuk "memaksa" empat negara OPEC yang masih berbentuk monarki (Arab Saudi, Kuwait, Qatar, dan Uni Emirat Arab) agar mereka "membiarkan" OPEC diperlemah atau dibubarkan dan kemudian diubah menjadi semacam organisasi penelitian yang tidak mempunyai kekuatan untuk mengontrol suplai dan harga minyak dunia.
Terlebih saat ini BUMN minyak negara OPEC nonmonarki sedang dalam proses liberalisasi dan privatisasi, seperti Pertamina dari Indonesia, Sonatrach dari Aljazair, PDVSA dari Venezuela, dan NNPOC dari Nigeria.
Kalau BUMN negara OPEC sudah dijual, maka kontrol produksi dan suplai ke pasar minyak dunia tidak lagi berada di tangan BUMN negara OPEC sehingga praktis OPEC tidak lagi bisa mengatur suplai, di samping Irak akan terus membanjiri pasar setelah investasi AS masuk.
Akankah satu-satunya organisasi penghasil komoditas strategis yang paling ditakuti AS ini dalam jangka panjang akan lenyap? Mari kita tunggu apa yang sesungguhnya akan dilakukan AS setelah berhasil menaklukkan Irak.
Kurtubi, Direktur Center for Petroleum and Energy Economics Studies (CPEES) dan Staf Ahli Direktur Pengembangan Pertamina.
URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0304/30/ekonomi/285297.htm