Minggu, 18 November 2007

Serangan Atas Irak, Dominasi Global AS, dan Langkah Rekolonisasi Dunia Ketiga

Pada saat artikel ini ditulis, dua buah proposal resolusi Dewan Keamanan Persatuan Bangsa-Bangsa tengah diajukan. Yang pertama adalah proposal penggunaan serangan militer untuk melucuti “senjata pemusnah massal” yang dimiliki oleh Irak. Sebuah proposal yang sebenarnya sebatas mencari legitimasi badan internasional tersebut dan dukungan dari negara-negara imperialis lainnya. Meskipun begitu, dengan ataupun tanpa resolusi Dewan Keamanan, Pemerintahan Bush dan Blair menyatakan akan tetap melakukan serangan. Sedangkan proposal kedua berasal dari para “penentang perang”, Perancis dan Jerman, yang mengajukan solusi damai atas Irak. Meski berbeda sikap dalam penyelesaian problem Irak, kedua proposal sangat jelas mengatakan bahwa terdapat pelanggaran terhadap Resolusi 1441Dewan Keamanan PBB, yang menyebutkan bahwa Irak harus memusnahkan semua program-program persenjataan nuklir, biologi, dan kimia.
Kedua proposal adalah wujud adanya dua kepentingan imperialis yang bersaingan dalam penentuan kontrol atas minyak Irak. Laporan yang dibuat Deutsche Bank dengan judul “Bagdad Bazaar: Big Oil in Iraq?” memperlihatkan bahwa hasil dari proposal yang dibuat Perancis adalah kontrak-kontrak minyak yang diberikan Saddam dalam tiga tahun terakhir kepada perusahaan-perusahaan minyak Perancis, Rusia, dan Cina akan segera diwujudkan. Sedangkan jika proposal AS yang disepakati Dewan Keamanan PBB, maka perusahaan-perusahaan AS-lah yang akan mendapatkan keuntungan, terutama pada pembukaan ladang-ladang baru di Padang Hijau (ChevronTexaco dan ExxonMobil dapat menjadi kontraktor manajemen cadangan minyak) ataupun rehabilitasi infrastruktur untuk mengembalikan kapasitas produksi Irak (Halliburton, misalnya, sewaktu di bawah kepemimpinan Wapres AS sekarang Dick Cheney mendapatkan keuntungan dari rehabilitasi fasilitas minyak Irak yang sebelumnya dihancurkan oleh serangan AS yang juga melibatkan Cheney sebagai salah satu perencananya).
Wilayah Irak merupakan wilayah konsentrasi minyak kedua terbesar di dunia setelah Arab Saudi dengan cadangan minyak yang telah diukur mencapai 110 milyar barel (Arab Saudi mencapai lebih dari 250 milyar barel). Bahkan, eksplorasi lebih lanjut diperkirakan akan menemukan cadangan minyak yang lebih besar, hingga mencapai lebih dari 200 milyar barel. Sementara negara-negara imperialis dan non-OPEC sebagian besar memiliki cadangan minyak sekitar 50 milyar barel. Karenanya wilayah ini menjadi fokus perhatian kepentingan imperialis, dalam konteks bahwa minyak adalah komoditas yang menggerakkan mesin-mesin kapitalisme global.
Saat ini, perusahaan-perusahaan Rusia, Perancis, Belanda, dan Cina telah mendapatkan kontrak-kontrak pengeboran minyak sebesar US$ 3,8 milyar, dengan tingkat keuntungan 20%. Kontrak-kontrak tersebut memang sampai saat ini baru sebatas langkah politik Saddam Hussein untuk menyogok anggota-anggota Dewan Keamanan sebagai upaya menghambat AS dan Inggris mendapatkan legitimasi PBB. Menurut laporan Deutsche Bank tersebut, “Jika Saddam bertahan, maka perusahaan-perusahaan Rusia dapat mengambil peran manajemen ini (LUKoil atau Zarubezhneft).”
Kontrol atas minyak bukanlah sebatas keuntungan dari perdagangannya saja, akan tetapi merupakan salah satu bagian yang terpenting dari upaya menguasai dunia yang dilakukan sepanjang babak imperialisme abad 20. Pertama, tidak ada satupun aspek kehidupan masyarakat saat ini terlepas dari pengaruh pasokan minyak. Semua transportasi komoditas kebutuhan manusia terpengaruh oleh harga minyak. Dapat dikatakan, kapitalisme saat ini sangat bergantung pada harga dan pasokan minyak. Pada tahun 1973-1974, setelah Perang Arab-Israel, negara-negara OPEC dengan mudah menaikkan harga minyak empat kali-lipat (dengan mengurangi pasokan mereka), membuat ekonomi dunia berhenti dengan inflasi yang tinggi (stagflasi). Khusus untuk AS, negara ini memiliki ketergantungan atas minyak impor. Impor minyak mencapai 51% dari konsumsi minyak AS, dan mencapai 89% dari keseluruhan impor energinya. Keberlangsungan ekonomi negara-negara imperialis sangatlah bergantung pada keamanan pasokan sumber energi utama dunia ini. Selain itu, pertumbuhan baru ekonomi dunia (jalan kapitalistik untuk keluar dari resesi global) membutuhkan pasokan minyak yang lebih besar, seperti yang dinyatakan dalam studi yang dilakukan oleh American Petroleum Institute, “US Energy Policy, Economic Sanction and World Oil Supply”, yang dikeluarkan pada tahun 2001.
Dalam bentuk lain, uang yang dihasilkan dari keuntungan perdagangan minyak Timur Tengah kenyataannya tidak hanya dipakai untuk memperbaiki infrastruktur masyarakatnya. Oleh para penguasa Timur Tengah, seperti keluarga bangsawan Saudi, uang tersebut dimasukkan ke dalam spekulasi bursa saham dan ekuitas lainnya, yang pada dekade 90an menjadi dasar munculnya gelembung saham dotcom. Meskipun gelembung dotcom sudah pecah dan menyeret ekonomi dunia dalam resesi ekonomi internasional, oligarki finansial internasional tetaplah membutuhkan pasokan dana dari uang minyak tersebut.
Kedua, kontrol imperialis atas harga minyak adalah jalan untuk menyelamatkan kapitalisme dari krisis yang kini menjangkiti pusat-pusat imperialis. Dalam Laporan National Energy Policy Development Group (Laporan Cheney), terlihat jelas bagaimana harga energi (khususnya minyak dan gas) mempengaruhi ekonomi AS. DuPont, perusahaan AS terbesar yang memproduksi barang-barang olahan dari minyak dan gas bumi tahun lalu menghadapi kenaikan harga bahan baku sebesar US$ 1,3 milyar. Sementara konsumen AS, 74 juta berpendapatan menengah, mengalami kenaikan harga kebutuhan energi mereka. Sebagai contoh, harga gas untuk sistem penghangat rumah keluarga di Midwest mengalami kenaikan mencapai 73% dan di New England mencapai 27%. Harga energi yang tinggi, terutama yang berhubungan dengan minyak (kini harga minyak di AS, Texas Intermediaries, mencapai US$ 35 per barel), akan menghambat perbaikan ekonomi karena akan melemahkan daya beli masyarakat. Apalagi sampai saat ini ekonomi AS masih sangat tergantung pada sektor konsumsi.
Ketiga, secara politik internasional, kontrol atas minyak oleh negara-negara imperialis akan menerobos pertahanan terakhir posisi persaingan ekonomi negara-negara dunia ketiga, terutama negara-negara yang bergabung dengan OPEC. Selama ini, AS telah berhasil melemahkan posisi OPEC dengan memperbanyak pemasok minyak non OPEC. Ditemukannya sumber minyak di Laut Utara dan kemudian terbukanya akses atas ladang-ladang minyak bekas Uni Soviet membuat semakin lemah posisi OPEC. Baik dalam studi yang dilakukan oleh API maupun tim yang dipimpin oleh Wapres AS Dick Cheney, OPEC dilihat sebagai kartel yang menghambat, menjerat leher negara-negara maju yang menginginkan pertumbuhan ekonomi. Politik harga minyak OPEC yang selama ini dijadikan alat untuk meningkatkan pendapatan ekonomi negara-negara anggotanya dan dianggap oleh AS sebagai ancaman yang harus diselesaikan. Dalam laporan Cheney, AS direkomendasikan menggunakan diplomasi untuk negara-negara “bersahabat” seperti Arab Saudi dan Kuwait sehingga liberalisasi (privatisasi) minyak bumi terjadi.
Selain itu, gejolak perlawanan rakyat dunia ketiga, terutama di Timur Tengah, terhadap rejim-rejim agen Amerika melahirkan ketakutan adanya perebutan kekuasaan oleh gerakan reaksioner. Keterlibatan kalangan istana dan kapitalis Arab Saudi dalam kelompok-kelompok fundamentalis, sangat dikhawatirkan oleh kalangan kapitalis barat. Pada Economist edisi 13 Desember 2001, dalam artikel “A Dangerous Addiction” dituliskan bahwa terdapat ancaman jika rejim yang kini berkuasa ditumbangkan dan digantikan oleh kelompok-kelompok anti barat, yang kemudian rela melakukan penghentian ekspor minyak untuk menghukum barat, seperti yang dilakukan pada tahun-tahun pertama Revolusi Iran. Ini bukan sesuatu yang mustahil karena ada dua faktor yang kini mewarnai gerakan oposisi di Timur Tengah, yaitu bahwa semakin terkonsentrasinya sumber daya masyarakat yang dimakan oleh para Syekh Minyak (para bangsawan Arab) di tengah-tengah meluasnya pengangguran dan kemiskinan, dan yang kedua, kehadiran militer Barat di jazirah Arab merupakan bahan bakar yang mengobarkan sentimen anti Barat (anti AS). Kasus sengketa antara Taliban dan perusahaan-perusahaan minyak AS yang melatarbelakangi serangan ke Afghanistan adalah contohnya.
Konflik di antara pemerintahan-pemerintahan imperialis yang ada saat ini adalah salah satu bagian dari proses reorganisasi imperialisme, terutama sehubungan dengan kebutuhan faksi-faksi kapitalisme internasional mengamankan jalan keluar kapitalistik dari krisis yang dialaminya. Apa yang kini dipertaruhkan para negara imperialis sebenarnya adalah masa depan investasi dan pasar di energi dan sumber daya alam lainnya, sektor yang menjadi bagian terpenting bagi keberlangsungan ekonomi mereka. Bahkan jika perlu, menghancurkan kekuatan politik internasional saingannya. AS misalnya kini telah berhasil melemahkan posisi ekonomi dan politik Jerman dan Perancis di dalam Uni Eropa, setelah menggalang dukungan dari 8 negara Uni Eropa seperti Inggris, Spanyol, dan Italia. Tetapi, meski kondisi ini memiliki kemiripan dengan pertarungan perebutan pasar tanah-tanah jajahan yang melatarbelakangi Perang Dunia I dan II, rekolonisasi yang berlangsung memang belum ada tanda akan melahirkan konflik bersenjata antara negara-negara imperialis. Hal ini disebabkan begitu besarnya kekuatan politik, militer dan ekonomi yang dimiliki AS, melampaui negara-negara imperialis lainnya.Kebohongan Borjuasi Dunia Ketiga
Dalam pertemuan Gerakan Non Blok di Malaysia kemarin kita seperti disegarkan oleh pernyataan-pernyataan dukungan terhadap perdamaian yang dikeluarkan oleh pemimpin-pemimpin negara-negara dunia ketiga. Megawati dan Gloria Macapagal Arroyo (pers Filipina menyebutnya GMA), yang jelas-jelas pendukung penuh neoliberalisme, mengeluarkan keprihatinannya atas desakan perang yang dilakukan oleh AS dan sekutunya melalui proses di Dewan Keamanan PBB. Lebih jauh lagi, Mahathir Mohammad dan GMA hadir dalam rapat akbar perdamaian di negaranya masing-masing yang oleh puluhan ribu massa, dan menyerukan perdamaian. Namun, fakta-fakta malah memperlihatkan bahwa hal tersebut tidak lebih dari retorika populis saja.
Kebijakan-kebijakan kerja sama militer yang dilakukan oleh negara-negara tersebut, khususnya Indonesia dan Filipina, justru menunjukkan bahwa kedua negara ini memberi dukungan terhadap invasi AS atas Irak. Pemerintah Indonesia, Singapura, Filipina, dan Malaysia tidak melakukan tindakan pencegahan apapun terhadap pergerakan kekuatan laut AS yang melewati wilayah perairan mereka. Pada tanggal 16 Februari 2003, Grup Tempur Kitty Hawk yang terdiri dari kapal induk USS Kitty Hawk, kapal induk USS Essex, belasan kapal perang dan kapal selam, 8 skuadron pesawat tempur dan militer lainnya, melintasi Selat Malaka tanpa tindakan atau protes apapun dari pemerintah Indonesia ataupun Malaysia. Sebelumnya, 7 Desember 2002, Grup Tempur Constellation yang berkekuatan lebih kecil meninggalkan Singapura untuk selanjutnya menuju Teluk Persia melalui Selat Malaka. Dalam waktu mendatang, Grup Tempur Nimitz juga akan melalui Selat Malaka.
Apa yang dilakukan Mahathir, Megawati, dan GMA tampaknya adalah suatu manuver politik untuk mengelabui rakyatnya yang belakangan antusiasmenya terhadap kampanye anti perang meningkat. Khusus untuk Megawati, ia hanya berupaya menghilangkan peluru-peluru yang akan ditembakkan oleh rival politiknya dari kelompok-kelompok Islam, terutama setelah rally “Menolak Kedzaliman” yang dilakukan Partai Keadilan yang melibatkan puluhan ribu massa. Pandangan ini dilatari oleh tidak adanya bukti bahwa ketiga pemimpin negara itu akan menindak lanjuti statemen mereka dengan tindakan politik yang nyata untuk menolak/mencegah perang dan penyusunan kekuatan tempur AS yang kini sedang berjalan di Turki, Kuwait, Arab Saudi, Qatar, dan berbagai negara Timur Tengah lainnya, selain di perairan Teluk Persia itu sendiri.
Filipina saat ini malah secara diam-diam membiarkan tentara AS yang sedang ‘berlatih’ di sana untuk ‘ikut’ dalam memburu kelompok-kelompok Abu Sayyaf dan “Penculik untuk Tebusan” lainnya. Sebagai buktinya, beberapa bulan yang lalu terjadi penembakkan terhadap penduduk sipil Filipina oleh anggota tentara AS. Dan lucunya, pernyataan damai GMA yang dilakukan dihadapan ribuan massa itu tidak berarti pembatalan perjanjian (Visiting Forces Agreement dan Military Logistic Support Agreement) yang membolehkan militer AS berkeliaran dan menggunakan fasilitas militer di Filipina. Dalam bentuk yang lain, beberapa bulan yang lalu Megawati dan TNI membiarkan latihan bersama Marinir AS dan Marinir Indonesia di Surabaya dalam menghadapi kerusuhan massa, tanpa ‘melanggar’ hak asasi manusia.Tuntutan Nyata Untuk Menghentikan Perang Imperialis
Saat ini kita telah melihat gerakan anti perang yang kira-kira hampir sebanding dengan yang terjadi dalam dekade 60an. Seruan demi seruan aksi internasional untuk menentang serangan AS atas Irak disambut oleh mobilisasi jutaan umat manusia. Pada tanggal 18 Januari, 14-16 Februari, dan 5 Maret 2003, merupakan pertanda dari bangkitnya sebuah gerakan internasional baru, di mana kelompok-kelompok anti globalisasi berhasil memperluas diri lebih jauh lagi daripada apa yang mereka capai pada periode 1999-2001. Bahkan, isu anti globalisasi neoliberal kini sudah menjadi landasan tuntutan anti perang, bukan sebatas isu-isu kemanusiaan. Slogan-slogan “No Blood For Oil” dan “Not In Our Name” merupakan slogan yang merepresentasikan penentangan terhadap ambisi buas rejim-rejim imperialis.
Namun, kini gerakan harus berkembang lebih maju lagi untuk memojokkan langkah-langkah persiapan perang AS. Tuntutan gerakan tidak boleh lagi abstrak, tetapi harus konkrit dan nyata sehingga dapat melahirkan tindakan politik yang lebih berdampak untuk melemahkan imperialisme. Apalagi jika tuntutan gerakan hanya sebatas menolak perang, maka hanya akan menjadi kendaraan faksi borjuasi internasional lainnya di luar AS untuk mengamankan kepentingan imperial mereka. Selain itu, tuntutan tersebut juga menyediakan perlindungan bagi borjuasi dunia ketiga sehingga mereka dapat mempertahankan posisi mereka di balik retorika perdamaian. Sampai saat ini tidak ada penolakan terhadap kehadiran pangkalan-pangkalan dan kesatuan-kesatuan militer AS di berbagai belahan dunia. Karena itu, tuntutan untuk mengenyahkan kehadiran kekuatan militer imperial AS adalah cara untuk memajukan gerakan menjadi gerakan anti imperialisme, anti kapitalisme.
Dapat dipastikan, seperti halnya yang dilakukan GMA, retorika anti perang tidak berarti dukungan terhadap bala tentara imperialis berhenti. Karena itu, penolakan terhadap kehadiran alat-alat perang AS, sampai dalam bentuk pengusiran atase-atase militer AS, akan memberikan konteks nasional dalam membuka borok agen-agen imperialis yang kini berkuasa di berbagai negara dunia ketiga.